Untuk mengundang minat investor berinvestasi
bukanlah hal yang semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan upaya yang
serius, sistimatik, terintegrasi dan konsisten untuk menanamkan kepecayaan
investor menanamkan modalnya di wilayah host country. Bagaimana pun juga
harus diingat bahwa pertimbangan investor sebelum menanamkan modal selalu
dilandasi motivasi ekonomi untuk menghasilkan keuntungan dari modal dan seluruh
sumber daya yang dipergunakannya. Oleh karena itu, investor selalu melakukan
kajian awal (feasibility study) baik terhadap aspek ekonomi, politik dan
aspek hukum sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi untuk memastikan
keamanan investasi yang akan dilakukannya. Terkait hal ini, setidak-tidaknya
calon investor akan mempertimbangkan aspek economic opportunity, political
stability dan legal certainty.8 Ketiga aspek ini pulalah yang menjadi syarat mutlak yang harus ada pada host
country agar menarik bagi calon investor.
Cukup banyak analisis dan publikasi-publikasi
tentang kondisi iklim investasi di Indonesia yang pada umumnya bermuara pada
suatu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan tentang kondusifitas berinvestasi
di Indonesia. Djisman S. Simanjuntak misalnya menyoroti gangguan keamanan, amuk
penjarahan, ketidakpastian hukum, korupsi dan perselisihan perburuhan bergabung
untuk memudarkan daya tarik Indonesia ketika di tempat-tempat lain muncul
lokasi-lokasi yang bersinar cerah, khususnya Cina yang bersaing dengan
Indonesia
dalam kelompok-kelompok industri yang sama
atau mirip.9 Pandangan lain
disampaikan oleh Todung Mulya Lubis yang menyatakan bahwa selain kurang memadainya
infrastruktur investasi, maka hambatan utama investasi di Indonesia adalah
masalah kepastian hukum. Dikatakan bahwa pengadilan di Indonesia khususnya
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak
mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam
sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga peradilan
yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi sinyal negatif
atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan penegakan
keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta,
PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di Indonesia
menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi
komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini
menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar modal
internasional dan atas arus modal langsung.10 Masih terkait dengan masalah kepastian hukum, Mc. Cawley menggambarkan
kondisi kepastian hukum investasi di Indonesia sebagai berikut :
“Tiap
regulasi sepertinya menimbulkan regulasi uraian yang lain sehingga pada
akhirnya para pejabat rendah di kantor-kantor daerah dan pelabuhan merasa
bebas-bahkan harus- menetapkan hal yang samara-samar dengan mengeluarkan
regulasinya sendiri. Situasi yang biasanya tidak memuaskan ini sering kali
dicampuri dengan tendensi pejabat senior untuk menerobos semua pita merah dan
kelambatan dengan memberikan pembebasan dari peraturan atau dengan membuat
keputusan umum sebagai undang-undang “yang dikehendaki”. Ketika ini terjadi
seringkali tidak jelas apakah mereka mengungkapkan pernyataan mereka sendiri
atau benar-benar menerapkan peraturan pemerintah.”11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar