Welcome

welcome 8 Pictures, Images and Photos

Jumat, 21 Desember 2012

Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia



Review Jurnal Ekonomi Koperasi(2)



Mengembangkan Koperasi Sebagai
Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia
Fransisca Mulyono 
                                                        REVIEW 2



Abstract

Koperasi di Indonesia adalah lembaga yang diamanatkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Dasar 1945. Setelah 65 tahun dalam perkembangannya, koperasi di Indonesia masih
tidak berkembang dengan baik. Di negara-negara lain koperasi terbukti menjadi sukses
organisasi bisnis. Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penyebab
keterbelakangan koperasi di Indonesia.
Kata kunci: Pasar Tradisional, kerjasama, profesionalisme kerjasama


1. Pendahuluan
 Di Indonesia, sudah umum diketahui bahwa komposisi aktivitas kewirausahaan
didominasi oleh usaha kecil dan mikro. Jika dilihat dari keseluruhan struktur
ekonomi, dari 39,72 juta pengusaha yang saat ini ada, sekitar 39,71 juta atau
99,97% adalah pengusaha mikro, kecil dan menengah (terkenal dengan singkatan
UMKM). Lebih jauh, sekitar 98% dari jumlah itu didominasi oleh pengusaha mikro
(Heryadi, 2004 : 1). Dalam perjalanan waktu sampai saat ini, UMKM perlu semakin
mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah secara khusus karena perannya
dalam membangun perekonomian nasional Indonesia adalah semakin besar.
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah usaha yang sudah terbukti berhasil
dalam mengatasi berbagai krisis. Di Indonesia ketika krisis moneter terjadi di tahun
1997 UMKM terbukti mampu untuk tetap eksis dan berkembang dan menjadi penye-
lamat perekonomian bangsa berkat kemampuannya memberikan sumbangan yang
signifikan kepada Produk Domestik Bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja.
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah UMKM secara nasional di Indonesia
ada 42,4 juta dengan memberikan sumbangan terhadap PDB mencapai Rp 1.013,5
trilyun (56,7% dari total PDB) dan kemampuan penyerapan tenaga kerja sebesar
79 juta jiwa (Karsidi, 2005 : 2). Kemampuan bertahan UMKM ini dipertegas oleh
Presiden Indonesia : Soesilo B. Yudhoyono mengakui bahwa keberhasilan Indonesia
bertahan dari dampak krisis keuangan global yang tengah melanda negara-negara
Barat tidak terlepas dari peran koperasi dan UMKM (Koran Jakarta, tt.). Tidak aneh
jika beberapa lembaga dunia melihat UKMN sebagai pencipta lapangan kerja (ILO),
 .
2 Fransisca Mulyono
 alat untuk memerangi kemiskinan di negara-negara berkembang (IMF, Bank Dunia
dan ADB) (Sadli, 1999).
Kecenderungan kemampuan UMKM memberikan sumbangan yang signifikan
terhadap perkembangan perekonomian suatu negara tidak saja terjadi di Indonesia
dan negara-negara berkembang, namun juga terjadi di negara-negara maju. Di Asia,
perkembangan sektor UKM ini juga dilihat sebagai salah suatu jalan keluar dari
krisis ekonomi (Sadli : 1999). UMKM Denmark saat ini diakui sebagai salah satu
UMKM paling berhasil di Barat yang melakukan proses internasionalisasi melalui
outsourcing dengan memperlakukan globalisasi sebagai ajang untuk mendapatkan
peluang bukan ancaman (Depperin, 2005).
Agar UMKM bisa semakin memberdayakan diri, maka wadah yang tepat
untuknya adalah pasar. Pasar adalah tempat di mana pembeli dan penjual
bertemu dan melakukan tawar menawae atas barang dan jasa (Fry et.al., 2001 :
178). Pemahaman tentang pasar ini boleh dikatakan sama dengan definisi pasar
berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia no. 420/MPP/Kep/10/1997 (selanjutnya disingkat sebagai Kepmenindag
no. 420/MPP/Kep/10/1997) tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar dan
Pertokoan, Bagian II tentang Pengertian ayat (1).

2. Kasus Pasar Tradisional
Pasar dalam tulisan ini adalah pasar fisik di mana pembeli dan penjual bertemu secara
langsung, bukan pasar visual di mana proses jual beli dilakukan melalui internet dan
tanpa ada tatap muka secara langsung antara pembeli dan penjual.
Berdasarkan Lampiran Kepmenindag no. 420/MPP/Kep/10/1997 bagian II ten-
tang Pengertian, pasal 1, pasar bisa digolongken ke dalam dua kategori berdasarkan
kela mutu pelayanannya, yaitu (1) pasar tradisional dan (2) pasar modern. Menurut
Pasal 2 dari Lampiran yang sama dijelaskan tentang pasar tradisional, yaitu pasar
yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Ma-
syarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dna tenda yang dimiliki/dikelola
oleh Pedagang Kecil dan Menengah dan Koperasi, dengan usaha skala kecil dan
modal kecil, dan dengan proses jual beli melalui rawar-menawar.
Menurut Pasal 3 dari Lampiran yang sama, dijelaskan tentang Pasar Modern
adalah pasar yang dibangun oleh Pemerintah, Swasta, atau Koperasi yang dalam ben-
tuknya berupa Mal, Supermarket, Department Store, dan Shopping Centre di mana
pengelolaanya dilaksanakan secara modern, dan mengutamakan pelayanan kenya-
manan berbelanja dengan manajemen berada di satu tangan, bermodal relatif kuat,
dan dilengkapi label harga yang pasti.
Menurut Wahyudi dan Ahmadi yang dikutip oleh Paskarina (2007 : 10), pasar
secara sosiologis dan kultural memiliki makna filosofis sebagai arena jual beli produk
dan juga tempat pertemuan warga untuk berinteraksi sosial atau melakukan diskusi
formal atas permasalahan kota. Artinya, melalui interaksi yang terjalin antara penjual
dan pembeli, pembeli dengan pembeli, atau penjual dengan penjual, maka sebuah hu-
bungan bisnis bisa terjalin dengan baik. Bahkan hubungan ini bisa berlanjut menjadi
Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia 3
hubungan sosial yang dalam yang pada akhirnya akan membuat loyalitas konsumen
menjadi tinggi untuk pedagang yang mampu menjalin hubungan sosial yang baik
dengan konsumennya.
Makna filosofis di atas tampak hanya ada pada pasar tradisional, karena melalui
tawar menawarlah hubungan bisnis dan sosial terjadi. Sementara pada pasar modern,
makna filosofis ini tidak terjadi karena tidak ada unteraksi sosial antara pembeli dan
penjual. Hal ini disebabkan adanya sistem self-service pada pasar modern di mana
pembeli melayani dirinya sendiri tanpa dibantu karyawan toko dalam berbelanja.
Dengan makna filosofis tersebut, maka keberadaan pasar tradisional menjadi
semakin penting untuk dipeliharaa keberadannya agar hubungan sosial yang terjalin
bisa dikembangkan lebih luas lagi yang diharapkan akan semakin memperbesar
usaha yang telah ada. Hal ini dikarenakan bila seorang konsumen yang merasa
puas dengan seorang penjual, maka tanpa diminta penjual tersebut, pembeli itu akan
dengan sendirinya menyebarkan nformasi yang baik tentang penjual tersebut. In-
formasi yang baik ini umumnya akan menarik para pendengarnya untuk mencoba
berbelanja kepada penjual tersebut, sehingga penjual tersebut akhirnya akan menda-
patkan pembeli yang lebih banyak tanpa upaya promosi apapun. Dalam manajemen
pemasaran hal ini dikenal sebagai word-of-mouth, alat promosi gratis tetapi efektif
dalam meningkatkan jumlah pembeli dan pembelian.
Kenyataan memperlihatkan bahwa keberadaan pasar modern di manapun di In-
donesia menjadi ”hantu di siang ”bolong bagi para pedagang di pasar tradisional,
karena dengan permodalannya yang kuat (yang mampu berbelanja langsung ke para
produsen berdasarkan skala ekonominya yang besar yang akhirnya mampu menerap-
kan harga jual yang lebih murah daripada pasar tradisional) yang didukung dengan
kenyamanan berbelanja, membuat para konsumen pasar tradisional beralih berbelanja
di pasar modern. Menurut Suhito yang dikutip Paskarina (2007 : 6), berdasarkan hasil
peneltian AC. Nielsen diketahui bahwa kontribusi penjualan pasar tradisional terus
merosot. Pada tahun 2002, dominasi penjualan di pasar tradisional bisa mencapai 75
%, sementara tahun 2006 hanya menjadi 70%.
Penurunan tingkat penjualan para pedagang tradisional di atas juga dikarenakan
oleh kurangnya penertiban zonasi paasr modern terhadap pasar tradisional. Tujuan
diterapkannya zonasi (adalah penentuan batas jarak fisik keberadaan pasar modern
terhadap pasar tradisional) oleh Perda guna melindungi eksistensi pasar tradisional.
Tetapi dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Di Jakarta dalam Perda no. 2 ta-
hun 2002 tentang Pengaturan Jarak Pasar Modern dan Tradisional diatur jarak pasar
modern minimal 2,5 km dari pasar tradisional, tetapi kenyataan berbicara lain. Di
Jakarta Timur, ada Carrefour Hypermarket (sebuah tempat berbelanja yang mampu
menetapkan harga yang lebih murah daripada pasar tradisional dan bahkan pasar
modern lainnya yang berskala lebih kecil, juga menjual variasi barang yang banyak
sekali selain kenyamanan berbelanja, bahkan menjual hewan kurban saat hari Raya
Kurban mendekat) yang berlokasi hanya sekitar 500 meter dari PD. Pasar Jaya. Di
Depok, usaha grosir seorang pedagang menurun dengan drastis ketika sebuah perku-
lakan didirikan tidak jauh dari tempatnya berjualan. Omzet penjualan usaha grosir ini
tadainya berkisar Rp. 10 juta - Rp. 12 juta per hari, setelah ada perkulakan tersebut,
omzetnya tinggal Rp. 1 juta - Rp. 1,5 juta per hari (Mathari, 2009). Di Bandung para

4 Fransisca Mulyono
pedagang pasar tradisional juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih berat lagi,
karena pesaingnya bukan hanya pasar modern yang lokasinya berdekatan dengan
mereka, tetapi juga dari Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disingkat sebagai PKL)
yang diperbolehkan berjualan di sekitar pasar mereka (Asep, 2009).
Selain kesulitan bersaing dengan pasar modern dan PKL, para pedagang pasar
tradisional juga masih harus menghadapi masalah lainnya yang juga tidak kalah
berat, yaitu penebusan kiosnya yang lama dengan harga tinggi ketika terjadi revi-
talisasi pasar oleh investor. Sering terjadi banyak pedagang di pasar tradisional yang
direvitalisasi akhirnya tersingkir karena tidak mampu membeli kiosnya yang tidak
terjangkau.
Banyak tudingan diarahkan kepada pemerintah daerah atas terpuruknya eksis-
tensi pasar tradisional. Menurut penulis, tudingan itu sebagian ada benarnya, tetapi
sebagian tidak benar. Bukan rahasia lagi jika sejak diberlakukannya otonomi daerah,
setiap daerah harus benar-benar menghidupi dirinya sendiri karena dana dari pusar
tidak mencukupi untuk membangun daerahnya. Kasus banyaknya perda yang dicabut
karena tidak sesuai dengan aturan di atasnya merupkan salah satu contoh. Niat baik
pemerintah daerah untuk merevitalisasi pasar yang kumuh, tidak nyaman dan sem-
rawut agar menjadi lebih baik kontribusinya bagi pembangunan daerah, tetapi tidak
didukung oleh dana, sehingga akhirnya pemerintah daerah mengundang investor.
Dengan situasi seperti ini, maka harus ada trade-off : pasar tradisional menjadi lebih
cantik dan diharapkan bisa lebih kuat menghadapi persaingan dari pasar modern,
tetapi di sisi lain ada korban : banyak pedagang di pasar tradisionalnya akhirnya
tersingkir. Kondisi seperti ini dipahami oleh Menteri Koperasi Suryadharma Ali yang
menyatakan bahwa keberadaan pasar modern merupakan dilema bagi pemerintahan
kota atau kabupaten, karena di satu sisi keberadaan pasar modern dalam kenyataan-
nya menghambat pertumbuhan pasar tradisional, sementara di sisi lain merupakan
indikator dari kemajuan kota atau kabupaten tersebut (Kementrian Negara Koperasi
dan UKM : 2009). Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya Kementrian Negara Kop-
erasi dan UKM memiliki program pemberdayaan pasar tradisional yang bekerja sama
dengan pemerintah daerah untuk melakukan renovasi dan pembangunan pasar untuk
meningkatkan peran UKM dan koperasi pasar (Laporan akhir, tt : 1-1), tetapi tidak
mungkin dana yang tersedia dan terbatas bisa menjangkau seluruh pasar tradisional
di seluruh Indonesia. Pasti terjadi antrian untuk mendapatkan dana tersebut. Waktu
yang lama untuk mengantri dana tersebut bisa menghambat pembangunan daerah.
Trade-off ini menurut penulis amat terpaksa dilakukan karena keberadaan pasar
tradisional adalah penting bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Kota Bandung
bisa diperoleh dari retribusi pasar, ketertiban di pasar, fasilitas mandi-cuci-kakus
(MCK), Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB). Sebagai contoh, di tahun 2005,
Anggaran Biaya Belanja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung mencapai Rp. 5
Milyar lebih sementara targetnya sendiri yang berasal dari pasar tradisional adalah
sebesar Rp. 4,6 Milyar (Paskarina et.al., 2007 : 6). Jadi peran pasar tradisional dalam
menunjang PAD adalah sangat tinggi.
Permasalahan adanya perbedaan target dan realisasi PAD yang berasal dari kon-
tribusi pasar tradisional dengan Anggaran Biaya Belanja Dinas Pengelolaan Pasar
Kota Bandung di atas sebenarnya bisa diseimbangkan dengan lebih baik, bahkan
jabv6n1.tex; 31/08/2010; 13:34; p.8
Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia 5
target bisa dilebihkan dan melebihi realisasinya, karena selama ini pembinaan para
pedagang pasar tradisional masih belum optimal. Sebagai contoh, Kuncoro (2008 : 9)
menyatakan bahwa kesadaran pedagang pasar tradisional dalam membayar retribusi
masih kurang. Artinya dengan adanya pembinaan yang lebih baik kepada para peda-
gang pasar tradisional, maka pembayaran retribusi bisa semakin meningkat. Fakta
bahwa masih rendahnya para pedagang pasar tradisional membayar retribusi pasar
perlu dipertanyakan mengapa bisa demikian dan digali lebih mendalam mengapa
bisa terjadi. Hal ini perlu dilakukan demi mengembangkan pasar tradisional yang
perlu dilestarikan.
Eksistensi pasar tradisional harus diberdayakan, karena ia memiliki beberapa
nilai strategis, yaitu :

1. berdasarkan sensus ekonomi yang dilakukan Biro Pusat Statistika (BPS) tahun
2006, di Indonesia terdapat 10 juta pedagang ritel tradisional (Kuncoro, ibid :
18).

2. masih menurut Kuncoro, jumlah kunjungan konsumen ke pasar tradisional di
Indonesia adalah sebanyak 25 kali dalam per bulan, hanya dikalahkan oleh Viet-
nam yang jumlah kunjungan sebanyak 29 kali per bulan. Bandingkan dengan
India dan Srilanka yang jumlah kunjungan konsumen hanya sebanyak 11 kali per
bulan, dan Philipina hanya sebesar 14 kali per bulan. Menurut penulis, banyaknya
jumlah kunjungan ini memperlihatkan kalau pembeli pasar tradisional yang ham-
pir setiap hari datang ke pasar tradisional adalah untuk mencari ”kesegaran” dari
sayuran atau buah-buahan. Berdasarkan pengamatan penulis di Bandung, orang-
orang kaya sekalipun yang tinggal di perumahan mewah tetap cukup sering
berbelanja di pasar.

3. Kesegaran sayuran atau buah yang dijual di pasar tradisional merupakan kelebi-
han pasar tradisional dibandingkan pasar modern dan perlu dipertahankan. Justru
dikarenakan kurangnya fasilitas pengawet sayuran dan buah - tidak seperti di
pasar modern - tingkat kesegaran sayur secara khusus dan buah menjadi menjadi
sangat tinggi. Sayur yang dijual di pasar tradisional hanya bertahan kurang dari
satu hari. Jadi ketika pembeli berbelanja di pasar tradisional, tingkat kesegaran
sayurnya bisa dijamin tinggi. Di pasar modern yang dikarenakan adanya fasilitas
pendingin sayur dan sebagian buah membuat pembeli tidak mengetahui dengan
pasti tingkat kesegaran sayur dan buah yang dibelinya.

4. sebagaimana telah diuraikan di atas, pasar tradisional memiliki makna filosofis
yang tetap menghidupkan tali silaturahmi masyarakat Indonesia yang terkenal
dengan kerukunannya. Jika pasar tradisional hilang, maka interaksi sosial antara
satu orang dengan yang lainnya akhirnya akan berkurang dan menurut penulis
hal ini berbahaya bagi Indonesia, karena kondisi seperti ini akan menghasilkan
generasi-generasi individualis yang egois dan tidak peka terhadap situasi dan
kondisi sesamanya. Indonesia berasaskan Pancasila, maka hal tersebut tidak
boleh terjadi dan muncul di bumi Indonesia (penciptaan generasi-generasi in-
dividualis sudah mulai tampak melalui sistem pendidikan saat ini di tingkat


6 Fransisca Mulyono
dasar yang begitu berat membebani anak-anak sekolah dasar yang akhirnya
tidak memilki kesempatan untuk menikmati masa kecilnya yang wajar. Beber-
apa pengamatan menunjukkan cukup banyak anak sekolag dasar kebalan penulis
yang perilakunya sering menunjukkan perilaku stres, yaitu sering marah pada
orang tuanya, terutama jika pekerjaan rumahnya agak sulit atau membaca teks
yang agak panjang).

5. Lokasi pasar tradisional adalah relatif lebih dekat dengan pemukiman konsumen,
karena lokasi keberadaan pasar tradisional tidak diatur secara ketat seperti pasar
modern. Pasar tradisional boleh berlokasi di setiap sistem jaringan jalan (Kun-
coro, 2008 : 14). Di satu daerah di kawasan Bandung Utara di lingkungan
sebuah perumahan elit setiap pagi bisa dijumpai beberapa mobil bak terbuka
yang berjualan sayur dan buah di sebuah lahan sempit sebagaimana layaknya
pasar tradisional dan para pembelinya berdatangan dari sekitar perumahan terse-
but menggunakan mobil. Ketika siang hari kita melewati jalan yang sama, kita
tidak akan tahu kalau pagi harinya di lokasi tersebut ada ”pasar tradisional”.

6. tidak ada ketentuan berapa luas sebuah pasar tradisional, tidak sebagaimana
diatur untuk pasar modern (lihat kuncoro, ibid). Dari point (5) di atas terlihat
bahwa ketika dirasakan ada sebuah ruang walaupun kecil bisa digunakan untuk
berjualan sayur, maka terciptalah sebuah pasar tradisional.

7. pasar tradisional memiliki kontribusi dalam penciptaan PAD sebuah daerah un-
tuk mandiri dari pemerintah pusat dalam masalah ekonomi guna membangun
daerahnya.
Melihat nilai strategis pasar tradisional di atas, sudah tidak terbantahkan lagi
kalau eksistensinya perlu dipertahankan. Pertanyaan yang muncul : bagaimana
mempertahankan pasar tradisional yang sudah banyak terjepit pasar modern?
Ada sebuah pepatah yang tampaknya bisa untuk membuka pintu jawaban atas
pertanyaan ini : sebatang lidi akan sangat mudah untuk dipatahkan dalam sekejab,
tetapi puluhan batang lidi yang disatukan aka sulit untuk dipatahkan. Pepatah ini
menurut penulis adalah pepatah yang hebat, karena dengan bersatu kita teguh. De-
ngan demikian para pedagang di pasar tradisional harus bersatu untuk meningkatkan
bargaining power menghadapi permasalahan bersama. Wadah untuk menyatukan
para pedagang ini adalah koperasi, yang juga merupakan amanah Undang-Undang
Dasar 1945.
Tetapi kondisi para pedagang di pasar tradisional yang sudah bergabung da-
lam sebuah kelompok, dalam hal ini adalah koperasi, tetap saja mudah dipatahkan.
Hal ini diperlihatkan oleh kasus koperasi pasar di beberapa pasar tradisional Kota
Bandung yang merasa disingkirkan karena tidak pernah dilibatkan lagi dalam penge-
lolaan pasar oleh pengelola pasar yang baru (Paskarina, et.al, 2007 : 2). Kondisi ini
memperlihatkan betapa posisi koperasi pasar sangatlah lemah, sehingga tidak mampu
untuk memiliki bargaining power yang tinggi menghadapi pihak eksternal koperasi
pasar yang mengakibatkan ketidakberdayaan koperasi pasar dalam membela para
anggotanya.

Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia 7
Selain itu berdasarkan pengamatan dan berita di media masa terlihat bahwa pada
dasarnya UMKM yang menjadi pembentuk koperasi selalu memiliki 2 masalah klise
yang terus terjadi sampai sekarang :
1. mereka mengeluh kekurangan modal.
2. mereka juga mengeluh tidak mampu memasarkan barangnya.




                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar