Review Jurnal Ekonomi Koperasi(2)
Mengembangkan
Koperasi Sebagai
Pemberdaya
Ekonomi Rakyat Indonesia
Fransisca Mulyono
REVIEW 2
Abstract
Koperasi di Indonesia adalah lembaga yang diamanatkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Dasar 1945. Setelah 65 tahun dalam perkembangannya, koperasi di Indonesia masih
tidak berkembang dengan baik. Di negara-negara lain koperasi terbukti menjadi sukses
organisasi bisnis. Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penyebab
keterbelakangan koperasi di Indonesia.
Kata kunci: Pasar Tradisional, kerjasama, profesionalisme kerjasama
1.
Pendahuluan
didominasi
oleh usaha kecil dan mikro. Jika dilihat dari keseluruhan struktur
ekonomi,
dari 39,72 juta pengusaha yang saat ini ada, sekitar 39,71 juta atau
99,97%
adalah pengusaha mikro, kecil dan menengah (terkenal dengan singkatan
UMKM).
Lebih jauh, sekitar 98% dari jumlah itu didominasi oleh pengusaha mikro
(Heryadi,
2004 : 1). Dalam perjalanan waktu sampai saat ini, UMKM perlu semakin
mendapatkan
perhatian yang besar dari pemerintah secara khusus karena perannya
dalam
membangun perekonomian nasional Indonesia adalah semakin besar.
Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah adalah usaha yang sudah terbukti berhasil
dalam
mengatasi berbagai krisis. Di Indonesia ketika krisis moneter terjadi di tahun
1997
UMKM terbukti mampu untuk tetap eksis dan berkembang dan menjadi penye-
lamat
perekonomian bangsa berkat kemampuannya memberikan sumbangan yang
signifikan
kepada Produk Domestik Bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja.
Data
tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah UMKM secara nasional di Indonesia
ada
42,4 juta dengan memberikan sumbangan terhadap PDB mencapai Rp 1.013,5
trilyun
(56,7% dari total PDB) dan kemampuan penyerapan tenaga kerja sebesar
79
juta jiwa (Karsidi, 2005 : 2). Kemampuan bertahan UMKM ini dipertegas oleh
Presiden
Indonesia : Soesilo B. Yudhoyono mengakui bahwa keberhasilan Indonesia
bertahan
dari dampak krisis keuangan global yang tengah melanda negara-negara
Barat
tidak terlepas dari peran koperasi dan UMKM (Koran Jakarta, tt.). Tidak aneh
jika
beberapa lembaga dunia melihat UKMN sebagai pencipta lapangan kerja (ILO),
.
2
Fransisca Mulyono
dan
ADB) (Sadli, 1999).
Kecenderungan
kemampuan UMKM memberikan sumbangan yang signifikan
terhadap
perkembangan perekonomian suatu negara tidak saja terjadi di Indonesia
dan
negara-negara berkembang, namun juga terjadi di negara-negara maju. Di Asia,
perkembangan
sektor UKM ini juga dilihat sebagai salah suatu jalan keluar dari
krisis
ekonomi (Sadli : 1999). UMKM Denmark saat ini diakui sebagai salah satu
UMKM
paling berhasil di Barat yang melakukan proses internasionalisasi melalui
outsourcing
dengan memperlakukan globalisasi sebagai ajang untuk mendapatkan
peluang
bukan ancaman (Depperin, 2005).
Agar
UMKM bisa semakin memberdayakan diri, maka wadah yang tepat
untuknya
adalah pasar. Pasar adalah tempat di mana pembeli dan penjual
bertemu
dan melakukan tawar menawae atas barang dan jasa (Fry et.al., 2001 :
178).
Pemahaman tentang pasar ini boleh dikatakan sama dengan definisi pasar
berdasarkan
Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia
no. 420/MPP/Kep/10/1997 (selanjutnya disingkat sebagai Kepmenindag
no.
420/MPP/Kep/10/1997) tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar dan
Pertokoan,
Bagian II tentang Pengertian ayat (1).
2.
Kasus Pasar Tradisional
Pasar
dalam tulisan ini adalah pasar fisik di mana pembeli dan penjual bertemu secara
langsung,
bukan pasar visual di mana proses jual beli dilakukan melalui internet dan
tanpa
ada tatap muka secara langsung antara pembeli dan penjual.
Berdasarkan
Lampiran Kepmenindag no. 420/MPP/Kep/10/1997 bagian II ten-
tang
Pengertian, pasal 1, pasar bisa digolongken ke dalam dua kategori berdasarkan
kela
mutu pelayanannya, yaitu (1) pasar tradisional dan (2) pasar modern. Menurut
Pasal
2 dari Lampiran yang sama dijelaskan tentang pasar tradisional, yaitu pasar
yang
dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Ma-
syarakat
dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dna tenda yang dimiliki/dikelola
oleh
Pedagang Kecil dan Menengah dan Koperasi, dengan usaha skala kecil dan
modal
kecil, dan dengan proses jual beli melalui rawar-menawar.
Menurut
Pasal 3 dari Lampiran yang sama, dijelaskan tentang Pasar Modern
adalah
pasar yang dibangun oleh Pemerintah, Swasta, atau Koperasi yang dalam ben-
tuknya
berupa Mal, Supermarket, Department Store, dan Shopping Centre di mana
pengelolaanya
dilaksanakan secara modern, dan mengutamakan pelayanan kenya-
manan
berbelanja dengan manajemen berada di satu tangan, bermodal relatif kuat,
dan
dilengkapi label harga yang pasti.
Menurut
Wahyudi dan Ahmadi yang dikutip oleh Paskarina (2007 : 10), pasar
secara
sosiologis dan kultural memiliki makna filosofis sebagai arena jual beli produk
dan
juga tempat pertemuan warga untuk berinteraksi sosial atau melakukan diskusi
formal
atas permasalahan kota. Artinya, melalui interaksi yang terjalin antara penjual
dan
pembeli, pembeli dengan pembeli, atau penjual dengan penjual, maka sebuah hu-
bungan
bisnis bisa terjalin dengan baik. Bahkan hubungan ini bisa berlanjut menjadi
Mengembangkan
Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia 3
hubungan
sosial yang dalam yang pada akhirnya akan membuat loyalitas konsumen
menjadi
tinggi untuk pedagang yang mampu menjalin hubungan sosial yang baik
dengan
konsumennya.
Makna
filosofis di atas tampak hanya ada pada pasar tradisional, karena melalui
tawar
menawarlah hubungan bisnis dan sosial terjadi. Sementara pada pasar modern,
makna
filosofis ini tidak terjadi karena tidak ada unteraksi sosial antara pembeli
dan
penjual.
Hal ini disebabkan adanya sistem self-service pada pasar modern di mana
pembeli
melayani dirinya sendiri tanpa dibantu karyawan toko dalam berbelanja.
Dengan
makna filosofis tersebut, maka keberadaan pasar tradisional menjadi
semakin
penting untuk dipeliharaa keberadannya agar hubungan sosial yang terjalin
bisa
dikembangkan lebih luas lagi yang diharapkan akan semakin memperbesar
usaha
yang telah ada. Hal ini dikarenakan bila seorang konsumen yang merasa
puas
dengan seorang penjual, maka tanpa diminta penjual tersebut, pembeli itu akan
dengan
sendirinya menyebarkan nformasi yang baik tentang penjual tersebut. In-
formasi
yang baik ini umumnya akan menarik para pendengarnya untuk mencoba
berbelanja
kepada penjual tersebut, sehingga penjual tersebut akhirnya akan menda-
patkan
pembeli yang lebih banyak tanpa upaya promosi apapun. Dalam manajemen
pemasaran
hal ini dikenal sebagai word-of-mouth, alat promosi gratis tetapi efektif
dalam
meningkatkan jumlah pembeli dan pembelian.
Kenyataan
memperlihatkan bahwa keberadaan pasar modern di manapun di In-
donesia
menjadi ”hantu di siang ”bolong bagi para pedagang di pasar tradisional,
karena
dengan permodalannya yang kuat (yang mampu berbelanja langsung ke para
produsen
berdasarkan skala ekonominya yang besar yang akhirnya mampu menerap-
kan
harga jual yang lebih murah daripada pasar tradisional) yang didukung dengan
kenyamanan
berbelanja, membuat para konsumen pasar tradisional beralih berbelanja
di
pasar modern. Menurut Suhito yang dikutip Paskarina (2007 : 6), berdasarkan
hasil
peneltian
AC. Nielsen diketahui bahwa kontribusi penjualan pasar tradisional terus
merosot.
Pada tahun 2002, dominasi penjualan di pasar tradisional bisa mencapai 75
%,
sementara tahun 2006 hanya menjadi 70%.
Penurunan
tingkat penjualan para pedagang tradisional di atas juga dikarenakan
oleh
kurangnya penertiban zonasi paasr modern terhadap pasar tradisional. Tujuan
diterapkannya
zonasi (adalah penentuan batas jarak fisik keberadaan pasar modern
terhadap
pasar tradisional) oleh Perda guna melindungi eksistensi pasar tradisional.
Tetapi
dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Di Jakarta dalam Perda no. 2 ta-
hun
2002 tentang Pengaturan Jarak Pasar Modern dan Tradisional diatur jarak pasar
modern
minimal 2,5 km dari pasar tradisional, tetapi kenyataan berbicara lain. Di
Jakarta
Timur, ada Carrefour Hypermarket (sebuah tempat berbelanja yang mampu
menetapkan
harga yang lebih murah daripada pasar tradisional dan bahkan pasar
modern
lainnya yang berskala lebih kecil, juga menjual variasi barang yang banyak
sekali
selain kenyamanan berbelanja, bahkan menjual hewan kurban saat hari Raya
Kurban
mendekat) yang berlokasi hanya sekitar 500 meter dari PD. Pasar Jaya. Di
Depok,
usaha grosir seorang pedagang menurun dengan drastis ketika sebuah perku-
lakan
didirikan tidak jauh dari tempatnya berjualan. Omzet penjualan usaha grosir ini
tadainya
berkisar Rp. 10 juta - Rp. 12 juta per hari, setelah ada perkulakan tersebut,
omzetnya
tinggal Rp. 1 juta - Rp. 1,5 juta per hari (Mathari, 2009). Di Bandung para
4
Fransisca Mulyono
pedagang
pasar tradisional juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih berat lagi,
karena
pesaingnya bukan hanya pasar modern yang lokasinya berdekatan dengan
mereka,
tetapi juga dari Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disingkat sebagai PKL)
yang
diperbolehkan berjualan di sekitar pasar mereka (Asep, 2009).
Selain
kesulitan bersaing dengan pasar modern dan PKL, para pedagang pasar
tradisional
juga masih harus menghadapi masalah lainnya yang juga tidak kalah
berat,
yaitu penebusan kiosnya yang lama dengan harga tinggi ketika terjadi revi-
talisasi
pasar oleh investor. Sering terjadi banyak pedagang di pasar tradisional yang
direvitalisasi
akhirnya tersingkir karena tidak mampu membeli kiosnya yang tidak
terjangkau.
Banyak
tudingan diarahkan kepada pemerintah daerah atas terpuruknya eksis-
tensi
pasar tradisional. Menurut penulis, tudingan itu sebagian ada benarnya, tetapi
sebagian
tidak benar. Bukan rahasia lagi jika sejak diberlakukannya otonomi daerah,
setiap
daerah harus benar-benar menghidupi dirinya sendiri karena dana dari pusar
tidak
mencukupi untuk membangun daerahnya. Kasus banyaknya perda yang dicabut
karena
tidak sesuai dengan aturan di atasnya merupkan salah satu contoh. Niat baik
pemerintah
daerah untuk merevitalisasi pasar yang kumuh, tidak nyaman dan sem-
rawut
agar menjadi lebih baik kontribusinya bagi pembangunan daerah, tetapi tidak
didukung
oleh dana, sehingga akhirnya pemerintah daerah mengundang investor.
Dengan
situasi seperti ini, maka harus ada trade-off : pasar tradisional menjadi lebih
cantik
dan diharapkan bisa lebih kuat menghadapi persaingan dari pasar modern,
tetapi
di sisi lain ada korban : banyak pedagang di pasar tradisionalnya akhirnya
tersingkir.
Kondisi seperti ini dipahami oleh Menteri Koperasi Suryadharma Ali yang
menyatakan
bahwa keberadaan pasar modern merupakan dilema bagi pemerintahan
kota
atau kabupaten, karena di satu sisi keberadaan pasar modern dalam kenyataan-
nya
menghambat pertumbuhan pasar tradisional, sementara di sisi lain merupakan
indikator
dari kemajuan kota atau kabupaten tersebut (Kementrian Negara Koperasi
dan
UKM : 2009). Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya Kementrian Negara Kop-
erasi
dan UKM memiliki program pemberdayaan pasar tradisional yang bekerja sama
dengan
pemerintah daerah untuk melakukan renovasi dan pembangunan pasar untuk
meningkatkan
peran UKM dan koperasi pasar (Laporan akhir, tt : 1-1), tetapi tidak
mungkin
dana yang tersedia dan terbatas bisa menjangkau seluruh pasar tradisional
di
seluruh Indonesia. Pasti terjadi antrian untuk mendapatkan dana tersebut. Waktu
yang
lama untuk mengantri dana tersebut bisa menghambat pembangunan daerah.
Trade-off
ini menurut penulis amat terpaksa dilakukan karena keberadaan pasar
tradisional
adalah penting bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Kota Bandung
bisa
diperoleh dari retribusi pasar, ketertiban di pasar, fasilitas mandi-cuci-kakus
(MCK),
Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB). Sebagai contoh, di tahun 2005,
Anggaran
Biaya Belanja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung mencapai Rp. 5
Milyar
lebih sementara targetnya sendiri yang berasal dari pasar tradisional adalah
sebesar
Rp. 4,6 Milyar (Paskarina et.al., 2007 : 6). Jadi peran pasar tradisional dalam
menunjang
PAD adalah sangat tinggi.
Permasalahan
adanya perbedaan target dan realisasi PAD yang berasal dari kon-
tribusi
pasar tradisional dengan Anggaran Biaya Belanja Dinas Pengelolaan Pasar
Kota
Bandung di atas sebenarnya bisa diseimbangkan dengan lebih baik, bahkan
jabv6n1.tex;
31/08/2010; 13:34; p.8
Mengembangkan
Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia 5
target
bisa dilebihkan dan melebihi realisasinya, karena selama ini pembinaan para
pedagang
pasar tradisional masih belum optimal. Sebagai contoh, Kuncoro (2008 : 9)
menyatakan
bahwa kesadaran pedagang pasar tradisional dalam membayar retribusi
masih
kurang. Artinya dengan adanya pembinaan yang lebih baik kepada para peda-
gang
pasar tradisional, maka pembayaran retribusi bisa semakin meningkat. Fakta
bahwa
masih rendahnya para pedagang pasar tradisional membayar retribusi pasar
perlu
dipertanyakan mengapa bisa demikian dan digali lebih mendalam mengapa
bisa
terjadi. Hal ini perlu dilakukan demi mengembangkan pasar tradisional yang
perlu
dilestarikan.
Eksistensi
pasar tradisional harus diberdayakan, karena ia memiliki beberapa
nilai
strategis, yaitu :
1.
berdasarkan sensus ekonomi yang dilakukan Biro Pusat Statistika (BPS) tahun
2006,
di Indonesia terdapat 10 juta pedagang ritel tradisional (Kuncoro, ibid :
18).
2.
masih menurut Kuncoro, jumlah kunjungan konsumen ke pasar tradisional di
Indonesia
adalah sebanyak 25 kali dalam per bulan, hanya dikalahkan oleh Viet-
nam
yang jumlah kunjungan sebanyak 29 kali per bulan. Bandingkan dengan
India
dan Srilanka yang jumlah kunjungan konsumen hanya sebanyak 11 kali per
bulan,
dan Philipina hanya sebesar 14 kali per bulan. Menurut penulis, banyaknya
jumlah
kunjungan ini memperlihatkan kalau pembeli pasar tradisional yang ham-
pir
setiap hari datang ke pasar tradisional adalah untuk mencari ”kesegaran” dari
sayuran
atau buah-buahan. Berdasarkan pengamatan penulis di Bandung, orang-
orang
kaya sekalipun yang tinggal di perumahan mewah tetap cukup sering
berbelanja
di pasar.
3.
Kesegaran sayuran atau buah yang dijual di pasar tradisional merupakan kelebi-
han
pasar tradisional dibandingkan pasar modern dan perlu dipertahankan. Justru
dikarenakan
kurangnya fasilitas pengawet sayuran dan buah - tidak seperti di
pasar
modern - tingkat kesegaran sayur secara khusus dan buah menjadi menjadi
sangat
tinggi. Sayur yang dijual di pasar tradisional hanya bertahan kurang dari
satu
hari. Jadi ketika pembeli berbelanja di pasar tradisional, tingkat kesegaran
sayurnya
bisa dijamin tinggi. Di pasar modern yang dikarenakan adanya fasilitas
pendingin
sayur dan sebagian buah membuat pembeli tidak mengetahui dengan
pasti
tingkat kesegaran sayur dan buah yang dibelinya.
4.
sebagaimana telah diuraikan di atas, pasar tradisional memiliki makna filosofis
yang
tetap menghidupkan tali silaturahmi masyarakat Indonesia yang terkenal
dengan
kerukunannya. Jika pasar tradisional hilang, maka interaksi sosial antara
satu
orang dengan yang lainnya akhirnya akan berkurang dan menurut penulis
hal
ini berbahaya bagi Indonesia, karena kondisi seperti ini akan menghasilkan
generasi-generasi
individualis yang egois dan tidak peka terhadap situasi dan
kondisi
sesamanya. Indonesia berasaskan Pancasila, maka hal tersebut tidak
boleh
terjadi dan muncul di bumi Indonesia (penciptaan generasi-generasi in-
dividualis
sudah mulai tampak melalui sistem pendidikan saat ini di tingkat
6
Fransisca Mulyono
dasar
yang begitu berat membebani anak-anak sekolah dasar yang akhirnya
tidak
memilki kesempatan untuk menikmati masa kecilnya yang wajar. Beber-
apa
pengamatan menunjukkan cukup banyak anak sekolag dasar kebalan penulis
yang
perilakunya sering menunjukkan perilaku stres, yaitu sering marah pada
orang
tuanya, terutama jika pekerjaan rumahnya agak sulit atau membaca teks
yang
agak panjang).
5.
Lokasi pasar tradisional adalah relatif lebih dekat dengan pemukiman konsumen,
karena
lokasi keberadaan pasar tradisional tidak diatur secara ketat seperti pasar
modern.
Pasar tradisional boleh berlokasi di setiap sistem jaringan jalan (Kun-
coro,
2008 : 14). Di satu daerah di kawasan Bandung Utara di lingkungan
sebuah
perumahan elit setiap pagi bisa dijumpai beberapa mobil bak terbuka
yang
berjualan sayur dan buah di sebuah lahan sempit sebagaimana layaknya
pasar
tradisional dan para pembelinya berdatangan dari sekitar perumahan terse-
but
menggunakan mobil. Ketika siang hari kita melewati jalan yang sama, kita
tidak
akan tahu kalau pagi harinya di lokasi tersebut ada ”pasar tradisional”.
6.
tidak ada ketentuan berapa luas sebuah pasar tradisional, tidak sebagaimana
diatur
untuk pasar modern (lihat kuncoro, ibid). Dari point (5) di atas terlihat
bahwa
ketika dirasakan ada sebuah ruang walaupun kecil bisa digunakan untuk
berjualan
sayur, maka terciptalah sebuah pasar tradisional.
7.
pasar tradisional memiliki kontribusi dalam penciptaan PAD sebuah daerah un-
tuk
mandiri dari pemerintah pusat dalam masalah ekonomi guna membangun
daerahnya.
Melihat
nilai strategis pasar tradisional di atas, sudah tidak terbantahkan lagi
kalau
eksistensinya perlu dipertahankan. Pertanyaan yang muncul : bagaimana
mempertahankan
pasar tradisional yang sudah banyak terjepit pasar modern?
Ada
sebuah pepatah yang tampaknya bisa untuk membuka pintu jawaban atas
pertanyaan
ini : sebatang lidi akan sangat mudah untuk dipatahkan dalam sekejab,
tetapi
puluhan batang lidi yang disatukan aka sulit untuk dipatahkan. Pepatah ini
menurut
penulis adalah pepatah yang hebat, karena dengan bersatu kita teguh. De-
ngan
demikian para pedagang di pasar tradisional harus bersatu untuk meningkatkan
bargaining
power menghadapi permasalahan bersama. Wadah untuk menyatukan
para
pedagang ini adalah koperasi, yang juga merupakan amanah Undang-Undang
Dasar
1945.
Tetapi
kondisi para pedagang di pasar tradisional yang sudah bergabung da-
lam
sebuah kelompok, dalam hal ini adalah koperasi, tetap saja mudah dipatahkan.
Hal
ini diperlihatkan oleh kasus koperasi pasar di beberapa pasar tradisional Kota
Bandung
yang merasa disingkirkan karena tidak pernah dilibatkan lagi dalam penge-
lolaan
pasar oleh pengelola pasar yang baru (Paskarina, et.al, 2007 : 2). Kondisi ini
memperlihatkan
betapa posisi koperasi pasar sangatlah lemah, sehingga tidak mampu
untuk
memiliki bargaining power yang tinggi menghadapi pihak eksternal koperasi
pasar
yang mengakibatkan ketidakberdayaan koperasi pasar dalam membela para
anggotanya.
Mengembangkan
Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia 7
Selain
itu berdasarkan pengamatan dan berita di media masa terlihat bahwa pada
dasarnya
UMKM yang menjadi pembentuk koperasi selalu memiliki 2 masalah klise
yang
terus terjadi sampai sekarang :
1.
mereka mengeluh kekurangan modal.
2.
mereka juga mengeluh tidak mampu memasarkan barangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar